Select Menu

Ceramah Agama Islam

Performance

Ust. Yusuf Mansur

Buya Yahya

Kajian Bisnis

» » » » » » JaTeng Trip: Dari Angkot ke Angkot
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama



Dari semua penghuni rumah, hanya saya yang bisa dibilang sama sekali buta kota Semarang, apalagi jalur angkutan umum di sana. Nol besar. Walhasil, karena kota tujuan pertama Semarang, malam itu saya mendapatkan kursus kilat tentang kota Semarang dan bagaimana cara berpindah dari satu titik ke titik lain di sana dari ayah saya. Maka dengan berbekal peta oret-oretan tangan ayah, pagi itu saya dan teman saya (yang sama-sama buta Semarang) memulai perjalanan.

Keluhan saya tentang perjalanan panjang ini berawal terlalu dini, di bis antar kota yang membawa saya ke Teminal Terboyo Semarang. Bisnya luar biasa penuh Saudara-Saudara! Tidak kurang dari 25 kilometer saya berdiri mendekap tas kamera sambil merutuki diri sendiri,yang begitu tololnya mencari susah. Separuh merutuk setengah bersyukur tepatnya. Toh buat saya yang notabenenya seorang turis gembel ini hanya sesekali saja naik kendaraan umum di Indonesia. Hanya sesekali terhimpit jepitan ketiak basah di tengah-tengah bis kota yang gerah. Sementara saya percaya, 90% dari penumpang bis tersebut, menjalani hal yang sama setiap harinya, tanpa pilihan.

Setelah mengkompromikan tujuan kami selama di Semarang, kami sepakat untuk mengunjungi kota Semarang lama,

dengan pertimbangan bahwa kota lama merupakan destinasi paling dekat dengan terminal antar kota Terboyo. Tips orang lokal, turun saja di pertigaan lampu merah sebelum masuk terminal. Itu akan menghemat waktu ngetem angkot yang hanya sopir angkot dan Tuhan yang tahu. Dari Terboyo kami naik bis tanggung jurusan Mangkang. Bisa naik bis apa saja yang mengarah ke pasar Johar. Masih tidak yakin? Tanya ke kondektur saja lah apakah itu bis menuju Gereja Blenduk.
Gereja bernama asli GIBP Immanuel ini merupakan salah satu maskot di kota lama dan sayangnya, satu-satunya maskot yang sempat kami kunjungi. Selain gereja ini, di kota lama kita bisa juga mengujungi stasiun Tawang dan polder air besar tepat di depannya. Tak lama kami di sini, kombinasi terik dan ransel di punggung hanya membawa kami berkeliling beberapa kompleks rumah-rumah kuno yang sayangnya jauh dari kata terawat. Hanya beberapa bangunan yang tampak tampil cantik, sisanya lebih berupa bangunan terabaikan dengan dinding mengelupas dan ditumbuhi semak belukar. Di beberapa sudut bahkan ada bangunan yang tergantikan dengan bangunan baru terlihat dari gaya arsitekturnya yang lebih masa kini. Sayang.

Dari kota lama, kami bertolak ke Museum Ronggowarsito di Kalibanteng dengan bis yang sama, jurusan Mangkang. Mendengar KaliBanteng, tidak ada selintas ingatan apapun di otak saya. Kosong. Entah di ujung Semarang bagian mana. Alhasil selama di bis kami berdua berkali bertanya pada kondektur “Kalibanteng masih jauh Mas?”. Ketika turun di Kalibanteng, dengan petunjuk mas kondektur tentu saja, seketika cengiran muncul di ujung bibir saya. Familier, ini kan simpang yang saya lewati hampir setiap 2-3 bulan sekali? Yap, ujung salah satu simpang itu adalah bandara Ahmad Yani. Museum? Ada apa di sana? Hmm, coba check saja ke sini. Saya cukup dodol untuk urusan mendeskripsikan sesuatu. Jangan terkecoh, museum ini meskipun terlihat kecil di luar, ternyata cukup sangat luas di dalamnya. Sediakan sekitar 1 – 1.5 jam untuk menuntaskan semua ruangan di sana.


Selepas lelah berkeliling dan mengisi tenaga di salah satu warung makan di dekat museum, kami menunggu bus jurusan Mangkang (lagi) yang akan membawa kami ke Klenteng Sam Pho Khong. Lebih dari tiga puluh menit kami menunggu. Luar biasa memang. Tapi apa boleh buat, karena itu satu-satunya jalur transport yang kami tahu. Ada pilihan lain dengan taksi sebetulnya, tapi seperti biasa ego kami jauh lebih mahal dari ongkos taksi *benerin kerah baju*.

Klenteng yang berada di daerah Gedung Batu ini konon merupakan persinggahan Laksamana Zheng He (Cheng Ho), seorang pelaut muslim dari Tiongkok. Sebuah patung besar sang Laksamana yang baru saja diresmikan tahun ini tampak berdiri menjulang di salah satu sudut halaman. Menempati area yang cukup luas, kuil utama terdiri dari 3 bangunan yang didominasi warna merah. Di belakang bangunan-bangunan tersebut ada semacam dinding pagar yang berpahatkan relief. Sayangnya, karena saya bahkan tidak masuk ke area gedung utama, saya tidak bisa melihat bercerita tentang apa relief tersebut. Untuk memasuki area gedung utama, kita diharuskan kembali membayar sekitar Rp 20,000. Mungkin kebijakan itu selain untuk pengumpulan dana untuk kuil, juga dimaksudkan agar tidak terlalu banyak pengunjung yang memasuki area utama, karena bagaimanapun juga itu adalah tempat ibadah. Namun tak urung juga itu membuat kami sedikit kecewa. Saya pribadi beberapa kali berkunjung ke kuil/vihara  terbesar di Singapore, gratis. Karena memang kuil di sana terbuka untuk umum, kecuali beberapa ruangan yang digunakan untuk sembahyang tidak boleh dimasuki pengunjung. Beberapa kali kunjungan saya bertepatan dengan waktu sembahyang, yang tetap berjalan khusyuk meskipun tampak banyak wisatawan yang berkeliling mengambil foto. Tentu saja ada beberapa edukasi atau petunjuk yang harus dipatuhi para turis seperti kami, misalnya untuk tidak membuat kegaduhan  tidak mengganggu jalannya ibadah dan tidak menyalakan flash kamera. Yah, mungkin kita memang masih harus menunggu lama untuk tempat wisata gratis di negara sendiri.

Selesai menunggu matahari sedikit merendah di belakang kuil, agar kami bisa mengambil foto tanpa backlight tentu saja, kami segera beranjak ke tujuan berikutnya, Masjid Agung Jawa Tengah. Ayah saya yang kebetulan menanyakan rute kami (ok, saya mengaku saja, Ayah saya SMS hampir tiap hari untuk tahu posisi saya saat itu), berdecak heran. Itu kenapa rute kami dari ujung timur utara ke ujung barat selatan balik lagi ke ujung timur? Sabar..sabar..sebelum ikut menghakimi juga, itu rute memang disengaja agar lebih berhemat ongkos angkot. Seperti kebanyakan angkot di kota-kota di Indonesia, di Semarang juga menerapkan system jauh dekat sama saja. Maka dari itu, kami sebisa mungkin mengusahakan untuk menggunakan satu rute saja untuk berpindah dari tempat satu ke tempat lain (lumayan cyn, 4000 perak setiap kali ngangkot). Sayangnya, dari Gedung Batu ke Masjid Agung, kami harus 2 kali ganti angkot. Entah karena memang tidak ada bis langsung (seperti yang sopir angkot bilang ke kami) atau kami saja yang kurang sabar menunggu bis arah Penggaron. Walhasil dari Gedung Batu kami turun di Karang Ayu untuk kemudian ganti angkot kuning nomer 8 ke Nggajah, perempatan menuju masjid.


Kurang dari 5 jam berkeliling Semarang ditambah bekal peta coretan tangan Ayah saya, membuat saya cukup tahu secara garis besar arah di kota ini. Saya tahu persis, kalau Nggajah itu dari  Tugu Muda lurus ke timur saja, tidak pakai belok. Itu mengapa kami seketika saling pandang paranoid ketika angkot yang kami naiki belok kiri tak jauh setelah Simpang Lima. Seorang penumpang yang melihat kami kasak-kusuk sambil mengamati nama jalan kemudian bertanya hendak ke mana kami. Dan menjelaskan bahwa rute angkot ini memang memutar, sedangkan Nggajah masih cukup jauh. Dia juga yang menunjukkan ke kami arah ke Masjid Agung selepas turun di perempatan Nggajah. (Suwun Mbak, yah begitulah, tidak semua orang yang naik angkot itu orang lokal).

Oh ya, tips untuk Anda yang berniat ke Masjid Agung Jawa Tengah ini. Jangan datang terlalu sore. Setelah jam 4 saja, tidak lagi ada bis yang mengarah ke sana. Taksi adalah salah satu pilihan, meskipun tidak banyak yang lewat, apalagi jika berombongan banyak. Dan garis bawah, jangan mencoba jalan kaki dari perempatan Nggajah ke Masjid Agung. Percayalah, bahkan saya yang hobi jalan kaki menyebut itu jauh (dah mulai nyeret ransel setelah setengah jalan). Salah satu opsi lagi adalah naik becak. Cukup dengan 10 ribu rupiah saja per becak dan silakan menikmati semprawutnya jalanan dari atas besak. Jalan Pak…

Masjid ini memang tidak main-main besarnya. Dan tidak main-main juga cantiknya. Bonus untuk saya yang datang menjelang senja adalah mengabadikan matahari hampir tenggelam berlatar depan menara-menara anggun. Untuk ukuran Indonesia dan untuk ukuran tempat umum yang dikunjungi banyak orang, tidak hanya untuk beribadah, saya merasa masjid ini cukup sangat bersih sekali, termasuk bagian toilet dan pelataran outdoornya. Tidak terasa sedikitpun debu meskipun terletak di bagian luar masjid, tanpa atap pula. Salut lah.


Karena menyempatkan Magrib di sana, kami baru melenggang keluar sekitar pukul 7. Kembali berbecak tentu saja kemudian dilanjutkan bis menuju Tugu Muda. Dengan pertimbangan waktu yang mepet, kami terpaksa menolak tawaran mas tukang becak untuk mengantar kami berbecak ke Tugu Muda (nyang bener aja Mas…situ mungkin belum gempor, kami yang tepos kelamaan duduk).

Tujuan kami di Tugu Muda sebenarnya adalah Lawang Sewu. Gedung bersejarah peninggalan colonial Belanda yang berlokasi tepat di pojokan Tugu Muda ini berarti “pintu seribu”. Benar atau tidaknya, entahlah, saya tidak punya waktu untuk menghitung. Sekali lagi kami harus merogoh dompet yang kian tipis untuk masuk komplek Lawang Sewu sebesar Rp 10.000 tiap orang. Ditambah lagi Rp 30.000 untuk guide yang langsung saya tolak. Oh, saya tidak keberatan dengan karcis masuk 10 ribu tadi, karena jujur setelah masuk gedung Lawang Sewu itu di luar ekspektasi saya sebelumnya. Saya tadinya hanya berharap gedung tua dengan dinding terkelupas dan lorong remang-remang. Ternyata, sudah banyak renovasi  di sana-sini. Lawang Sewu sekarang tampil cantik, bahkan sampai toilet terpisah di bagian belakang pun enak untuk dikunjungi. Bahkan ada sebuah bangunan terpisah yang diperuntukkan sebagai museum yang mengabadikan segala pernak-pernik renovasi  dan itu ber-AC *ga pengen keluar ruangan*. Lawang Sewu menjadi pungkasan kunjungan kami di kota Semarang hari itu. Dan karena kami ingin lebih berinteraksi kebudayaan setempat, malam itu kami memutuskan tidak menginap di hotel *ngomong wae ngirit Mbak*.


Sebuah taksi, yang akhirnya berhenti sebelum saya memutuskan untuk berlari ke tengah jalan karena putus asa nunggu taksi, membawa kami mengarah ke Tembalang, sebuah kawasan kampus di mana seseorang sudah saya paksa untuk membersihkan kamar kosnya demi menerima kedatangan dua orang backpacker kere. *Sambil tertawa sadis ala seorang kakak yang menyiksa adiknya* [Queenerva]

«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar

Leave a Reply